2.2.1 Struktur Teks
Struktur generik teks ialah “the overall structure or organization of a text.” Analisis struktur generik adalah berkenaan dengan nilai strategi genre yang bersifat tujuan-terpadu (purpose driven) (Fairclough, 2003:72). Secara menyeluruh, struktur generik turut berperanan dalam pelaksanaan praktik kuasa. Teks pidato politik SBY secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian stuktur utama sebagaimana teks pidato pada umumnya, yaitu (1) bagian pembuka, (2) bagian isi, dan (3) bagian penutup.
Tabel 1: Struktur Teks dalam Pidato Politik SBY
Uraian tabel 1 memerlihatkan bahwa alam isi pidato tersebut, SBY tidak sekadar menyatakan deklarasinya sebagai wakil Partai Demokrat yang siap untuk maju dalam pencalonan calon presiden 2009-2014, namun juga menyatakan berbagai keberhasilan yang telah diraihnya di masa lalu selama menjadi Presiden Republik Indonesia periode sebelumnya, 2004-2009, meski perlu dikritisi bahwa seluruh bukti yang keberhasilan yang dinyatakan SBY dalam pidatonya tidak dilengkapi dengan data dan fakta yang akurat.
Dalam pidato tersebut juga SBY bukan hanya memberikan janji dan harapannya untuk dapat terpilih kembali menjadi Presiden RI 2009-2014, tapi juga memberikan gambaran mengenai tantangan yang dihadapi di masa yang akan datang. Struktur yang saling mengisi ini disusun dan dialirkan sehingga mengarah pada satu muara, yaitu permohonan doa restu dan dukungan untuk memilih SBY dan Boediono dalam Pemilu 2009. Struktur yang memanfaatkan aspek waktu secara kilas balik ini juga menandai adanya suatu focus perhatian terhadap masa lalu dan pentingnya masa depan sehingga perlu tetap dipertahankan/dikekalkan. Seluruh struktur ini dikembangkan untuk menarik simpati khalayak agar memilihnya kembali sebagai Presiden RI periode 2009-2014.
2.2.2 Tata Bahasa
Tiga hal dari analisis tata bahasa yang digariskan oleh Fairclough (1992: 235) yaitu terdiri dari ketransitifan, tema, dan modalitas. Ketransitifan bersesuaian dengan fungsi ideasional bahasa, tema bersesuaian dengan fungsi tekstual bahasa, dan modalitas bersesuaian dengan fungsi interpersonal bahasa. Dalam penelitian ini hanya akan dianalisis ketransitifan dan modalitas.
A. Ketransitifan
Objektif dari ketransitifan adalah melihat apakah jenis proses dan pemeran yang menonjol di dalam teks, apakah suara utama (aktif atau pasif), dan bagaimana mana signifikasinya proses nominalisasi.
Perhatian utama ialah agen atau pelaku, ekspresi sebab, dan akibat penanggungjawaban
(Fairclough, 1992: 235-236). Data ketransitifan di antaranya terdapat pada data di bawah ini.
· Kami bertekad untuk melanjutkan dan menuntaskan tugas dan pengabdian kami pada tahun 2009-2014 (10.1).
· Saya akan terus menggunakan hati dan pikiran saya untuk tetap sabar, tegar dan berikhtiar, menghadapi segala persoalan, termasuk berbagai cercaan dan bahkan hinaan (12.3).
· Saya bertekad untuk bersamasama seluruh rakyat Indonesia melakukan perubahan.... (4.1)
· Kami bertekad untuk melanjutkan dan menuntaskan tugas dan pengabdian kami pada tahun 2009-2014 (10.1).
Sebagian besar klausa yang terdapat dalam pidato politik SBY dikonstruksi dalam bentuk klausa aktif (Pelaku + Proses + Pelengkap) yang menempatkan Saya (SBY) dan Kami (SBY dan Budiono) sebagai pelaku dan menempatkan verba mengucapkan, menjalankan, bertekad, bekerja, berjuang, dll. Sebagai proses. Ini menunjukkan bahwa SBY dan Boediono telah benar-benar siap dan bersedia untuk memimpin dan bertanggung jawab atas Republik Indonesia lima tahun mendatang. Secara implisit juga menunjukkan bahwa tekad SBY dan Boediono untuk siap sedia dan bertanggung jawab ini haruslah didukung oleh khalayak/masyarakat dengan cara memilihnya dalam Pemilu Capres 2009. Di sinilah sesungguhnya SBY melancarkan kuasanya agar masyarakat percaya dan memilihnya kembali.
Yang menarik dalam pemanfaatan strategi ketransitifan ini adalah SBY hanya menempatkan dirinya dan partai politik koalisi lain (18.2) sebagai pelaku dalam satu klausa saja yaitu (18.2). SBY bahkan tidak menempatkan Partai Demokrat sebagai pelaku dalam satu kalimat pun. Meskipun kita ketahui bahwa Partai Demokrat memanglah partai yang didirikan oleh SBY, namun keberadaan SBY dalam pendeklarasian ini bukanlah mandiri, tapi merupakan wakil dari Partai Demokrat yang mengusungnya. Tanggung jawab kelangsungan dan keberhasilan pembangunan bukan hanya terletak pada bahu SBY dan Boediono, namun juga kepada seluruh pelaksana pemerintahan yang akan berasal dari berbagai partai politik, khususnya Partai Demokrat, sehingga pada pidato pendeklarasian tersebut yang muncul adalah figur SBY sebagai pribadi, bukan wakil partai.
B. Modalitas
Objektif daripada modalitas adalah derajat afinitas (daya tarik-menarik) pembicara dan afiliasi terhadap pernyatannya. Fokus utamanya adalah bagi menilai level kuasa (a) hubungan social dalam wacana dan (b) soal kontrol realitas (Fairclough, 1992: 236). Di bawah ini adalah beberapa contoh pemanfaatan modalitas harus, bisa, boleh, mungkin dalam pidato SBY yang menunjukkan hirarki dalam menyalurkan kuasanya.
· Disamping masih banyak yang harus kita perbaiki dan kita tingkatkan, jangan sampai apa yang telah kita raih tidak berlanjut, apalagi mundur kembali (8.2).
· Kita ingin landasan yang telah kita bangun lima tahun terakhir ini dapat terus diperkokoh, agar Indonesia bisa lebih maju lagi (8.3).
· Dengan bantuan rakyat insya Allah, saya bisa melakukan banyak hal (14.1).
· Namun tidak mungkin saya dapat melakukan semua hal, apalagi ketika hanya Allah SWT .... (14.2).
Dalam teks pidato politik SBY ditemukann4 buah modalitas harus, 4 buah modalitas dapat, 2 buah modalitas bisa yang terdapat pada kalimat, 1 buah modalitas boleh dan 1 buah modalitas mungkin. Dalam teks pidato politiknya, SBY memanfaatkan modalitas harus untuk mengonstruksi makna perintah. Modalitas bisa dan dapat dimanfaatkan SBY untuk mengonstruksi makna kemampuan (keupayaan).
Sementara itu, modalitas tidak boleh mengonstruksi makna larangan, dan modalitas tidak mungkin mengonstruksi makna ketidakmampuan. Berdasarkan pemanfaatan modalitas di atas dapat dirumuskan bahwa dalam pidatonya SBY tetap menyalurkan kuasanya dengan menggunakan modalitas harus. Padahal, dalam posisi ini SBY bukanlah bertindak selaku Presiden RI, tapi sebagai calon Presiden RI. Modalitas harus dilancarkan untuk merujuk perintah kepada pihak-pihak yang memiliki hirarki lebih rendah dengannya, yaitu masyarakat Indonesia dan partai koalisi. Sementara itu, modalitas boleh dan bisa lebih banyak digunakan untuk merujuk kemampuan dan keupayaan pihak SBY sendiri.
Lebih banyaknya pemanfaatan modalitas dapat dan bisa dibandingkan modalitas harus menandai bahwa SBY berupaya menempatkan pidatonya sebagai alat promosi diri dan bukan sebagai alat untuk paksaan dan menempatkan calon pemilih adalah raja, yang pada akhirnya startegi ini dilakukan SBY untuk lebih mendapat simpati dari calon pemilih. Hal ini umum berlaku pada wacana politik seperti manifesto, yang menempatan pemilih sebagai raja, dan tidak bersifat 'menunjuk ajar' (Idris, 2005:90). Namun, minimnya penggunaan modalitas “harus” ini juga dapat dimaknai sebagai bentuk kelemahan dan ketidaktegasan SBY sebagai calon pemimpin.
C. Aspek
Selain kata bantu modal, dalam data juga ditemukan beberapa data yang berkaitan dengan kata bantu aspek, yaitu telah, akan, terus, dan lanjut. Kata bantu aspek telah menandai hasil yang telah dicapat pada masa kepemimpinan SBY sebelumnya, kata bantu akan menandai komitmen SBY jika terpilih kembali memimpin Indonesia periode 2009-2014, dan kata bantu terus dan lanjut menandai kesinambungan komitmen yang akan tetap dikekalkan.
Kata bantu aspek akan dalam data terdapat 10 data; kata bantu aspek telah terdapat sebanyak 6 data; kata bantu aspek terus terdapat 8 data; dan kata aspek lanjut terdapat 5 data.
Contoh :
· Kita ingin landasan yang telah kita bangun lima tahun terakhir ini dapat terus diperkokoh, agar Indonesia bisa lebih maju lagi (8.3).
· Saya akan tetap konsisten untuk terus berpikir dan bertindak tepat dan rasional (13.1).
· Dengan integritas kepribadian, kemampuan dan sifatnya yang suka bekerja keras, saya yakin, dengan ridho Allah SWT, Saudara Boediono, jika kami berhasil dalam Pemilihan Presiden Tahun 2009 ini, akan mampu dan tepat mendampingi saya, untuk melanjutkan tugastugas kenegaraan dan Pemerintahan lima tahun mendatang (16.1)
Kata bantu aspek yang penting untuk mendapat analisis adalah kata bantu aspek terus dan lanjut karena kedua kata bantu aspek ini menandai adanya praktis sosial pengekalan kuasa yang dilancarkan oleh SBY melalui pidatonya. Secara Leksikal makna kata terus berdasarkan KBBI (2005:1186) adalah 'tetap berlanjut' dan makna kata lanjut (KBBI, 2005: 636) adalah 'terus'.
Melalui kedua kata bantu aspek ini SBY melancarkan praktis sosial bahwa apa yang telah dilakukan dan diperoleh pada masa kepemimpinnan beliau sebelumnya menjadi hal yang penting untuk diteruskan dan dilanjutkan dan tidak boleh dihentikan. Kata bantu aspek ini pula yang dipilih SBY sebagai tagline kampanyenya, yaitu Lanjutkan! yang berarti meneruskan sesuatu yang telah ada sebelumnya.
Sesuatu dimaksud dalam hal ini ada kekuasaan sebagai Presiden RI.Ini mengimplisitkan bahwa dengan penggunaan leksikal terus dan lanjut, SBY menanamkan kuasanya agar khalayak dapat memilihnya kembali sebagai Presiden RI periode 2009-2014 atau dengan arti lain SBY meminta masyarakat untuk tetap mempercayainya untuk meneruskan pemerintahan yang telah dipimpin sebelumnya.
2.2.3 Koherensi
Koherensi adalah pemerihalan mengenai cara klausa disusun untuk membentuk kalimat, dan cara kalimat disusun bagi membentuk teks atau wacana. Susunan dapat dilihat melalui penggunaan leksikal, pengulangan kata, sinonim, perujukan, penggantian, dan kata hubung (Idris, 2006: 77). Pendekatan ini digunakan juga untuk memahami praktis atau proses sosial tertentu. Koherensi yang dipilih dalam analisis tekstual ini hanyalah kata hubung dan perujukan (kata ganti nama). Di bawah ini adalah uraiannya.
A. Kata Hubung
Objektif kata hubung adalah selain untuk menjelaskan pendekatan retorik teks, baik argumentatif, ekspositori, naratif, atau persuasif, juga digunakan untuk memahami praktis atau proses sosial tertentu. Dalam penelitian ini hanya akan dibahas kata hubung namun karena kata hubung ini yang paling banyak muncul dalam teks pidato yang dibacakan SBY. Kata hubung namun digunakan dalam wacana sebagai kata hubung antarkalimat dan antarklausa yang menyatakan pertentangan. Di bawah ini adalah beberapa contoh kata hubung tersebut.
· Insya Allah, mudah-mudahan, kita memegang amanah serta tidak akan pernah silau pada harta maupun godaan kebendaan lainnya (13.5). Namun demikian, saya tetap seorang manusia, saya bukan superman (13.6).
· Dengan bantuan rakyat insya Allah, saya bisa melakukan banyak hal 14.1). Namun tidak mungkin saya dapat melakukan semua hal, apalagi ketika hanya Allah SWT yang memiliki kekuasaan dan kebesaran untuk melakukan segalanya (14.2).
Kata hubung namun dimanfaatkan oleh SBY untuk menghubungkan dua buah kalimat yang memiliki makna pertentangan. Dalam hal ini SBY mempertentangkan dua hal antara yang terdapat
pada kalimat sebelumnya dan kalimat setelahnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kata hubung ini digunakan SBY untuk menyatakan pembenaran atas apa yang diuraikan pada kalimat sebelumnya. SBY cukup cerdas bermain di area ini. Namun, jika berlebihan, lawan politik dan masyarakat lambat laun akan menilai sosok SBY sebagai pemimpin yang lambat dan lemah serta memiliki kebijakan politiknya yang tidak tegas. Namun, hal ini juga dapat dimaknai juga sebagai bentuk kerendahhatian SBY yang sengaja dicitrakan untuk memperoleh simpati para calon pemilih dalam Pemilu tahun 2009.
B. Kata Ganti
Selaras dengan objektif koherensi dalam analisis wacana kritis, objektif kata ganti nama juga digunakan memahami praktis atau proses sosial tertentu. Dalam penelitian ini hanya akan dibahas kata ganti nama yang digunakan SBY dalam teks pidato yang dibacanya. Dalam wacana tersebut ditemukan 29 data kata ganti nomina saya yang merujuk kepada SBY secara mandiri, 7 kata ganti nama kami yang merujuk kepada SBY dan Boediono, dan 28 data kata ganti nama yang merujuk kepada SBY dan seluruh masyarakat Rebublik Indonesia dan SBY beserta partai koalisi. Data kata ganti nama tersebut tersebar di antaranya pada paragraf 8, 10, 12, 19, dll. Di bawah ini adalah beberapa contoh penggunaan kata ganti nama yang terdapat dalam data.
· Rakyat juga tahu bahwa pemerintahan yang saya pimpin telah memberikan bukti, di tengah ujian dan cobaan, yang bukti dan bukan lagi janji (12.1). Saya pun, jika insya Allah terpilih kembali, akan terus bekerja dan bekerja (12.2)....
· Atas kesadaran dan panggilan tugas itu semua, saya bersama Saudara Prof. DR. Boediono, jika Allah meridhoi dan rakyat memberikan mandatnya kembali, kami bertekad untuk melanjutkan dan menuntaskan tugas dan pengabdian kami pada tahun 2009-2014 (10.1). Terima kasih. Yang insya Allah akan menjadi masa bakti terakhir kami dalam pemerintahan (10.2).
· Namun, tugas kita belum selesai (8.1). Disamping masih banyak yang harus kita perbaiki dan kita tingkatkan, jangan sampai apa yang telah kita raih tidak berlanjut, apalagi mundur kembali (8.2). Kita ingin landasan yang telah kita bangun lima tahun terakhir ini dapat terus diperkokoh, agar Indonesia bisalebih maju lagi (8.3).
Berdasarkan data di atas dapat dirumuskan bahwa SBY menempatkan dirinya dengan pemanfaatan kata ganti saya. Kata ganti saya yang berjumlah 29 ini sebanding dengan pemanfaatan kata ganti kita yang berjumlah 28. Kata ganti kita merupakan kata ganti nama bersifat inklusif yang melibatkan antara penutur (SBY) dan lawan tutur (masyarakat Indonesia). Ini menandai bahwa melalui pidatonya SBY senantiasa melibatkan seluruh bangsa Indonesia. Penglibatan masyarakat dalam teks pidato SBY ini juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk mengkonstruksi kebersamaan yang merujuk dukungan seluruh pihak yang ingin dicitrakan oleh SBY.
2.2.4 Leksikalisasi
Leksikalisasi ialah ialah proses 'memberi kata' pada dunia, yang berlaku secara berbeda-beda, dalam waktu dan tempat yang berbeda, dan bagi kelompok manusia yang berbeda (Fairclough, 1992a: 77 dalam Idris, 2006: 182). Analisis leksikalisasi terbagi menjadi (a) Metafora, (b) Kata Kunci (key word), dan (c) Kata yang berlebihan (Overwording). Dalam penelitian ini hanya akan dianalisis mengenai kata kunci. Berikut ini adalah uraiannya.
A. Kata Kunci Bidang Keagamaan
Kata kunci dalam bidang keagamaan adalah leksikal yang merujuk kepada kata umum maupun kata khusus dalam bidang keagamaan. Dalam teks pidatonya, SBY memanfaatkan 22 (dua puluh dua) buah kata kunci dalam bidang keagamaan yang tersebar pada paragraph 2, 3, 6, 12, 13, 14, dll. Di bawah ini adalah beberapa dari contoh kata kunci bidang keagamaan tersebut.
· Alhamdulillah, malam ini, kita berada di kota yang bersejarah, untuk mengukir sejarah baru. (2.1)
· Alhamdulillah, Allah SWT meridhoi dan rakyat memberikan mandate dalam Pemilihan Presiden .... (3.2).
· Tidakkah kita bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, stabilitas politik dan keamanan di seluruh negeri semakin baik.... (6.1) .
Data di atas memperlihatkan bahwa di hampir seluruh paragraf pidato yang dibacakan SBY senantiasa mengutip leksikal keagamaan, khususnya leksikal keagamaan Islam. Rincian leksikal keagamaan tersebut ialah Alhamdulillah 4 kali, Allah SWT 8 kali, Insya Allah 4 kali, ridho 5 kali, Tuhan Yang Maha Kuasa 3 kali, dll. Hal ini ada kaitannya dengan latar belakang silsilah keluarganya, manakala Ibunda SBY, Ny. Sitti Habibah merupakan putri salah seorang pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) di Tremas. (Hariwijaya, 2009: 2). Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa nilai-nilai agama telah tertanam dengan kuat dalam sepanjang kehidupan SBY.
Nilai-nilai keagamaan yang kuat tersebut pada akhirnya dimanfaatkan dan tercermin pula dalam pidato yang dibacakannya. Penggunaan leksikal keagamaan dalam teks pidato SBY ini bertujuan untuk mencitrakan diri SBY sebagai calon presiden yang memiliki ahlak yang baik dan mencitrakan cirinya sebagai seorang muslim yang baik. Pencitraan yang mengaitkan dengan keagamaan dinilai penting untuk menarik perhatian dan mempengaruhi khalayak calon pemilih dalam Pemilu mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam. Oleh karena itu, leksikal keagamaan digunakan sebagai strategi untuk menarik simpati masyarakat.
B. Kata Kunci Bidang Politik
Kata kunci dalam bidang politik adalah leksikal yang merujuk kepada kata umum maupun kata khusus dalam bidang politik. Dalam teks pidatonya, SBY memanfaatkan banyak leksikal bidang politik dan cukup beragam, di antaranya ialah bangsa, negara, politik, partai, pemerintahan, mandat, rakyat, presiden, Indonesia, Kabinet, dll. Di bawah ini adalah beberapa menggunakan kata bidang politik dalam wacana pidato SBY.
· Lima tahun yang lalu, saya, SBY, anak keluarga TNI yang sederhana dari Pacitan, bertekad untuk meningkatkan bakti saya kepada bangsa dan negara (3.1).
· Rakyat juga tahu bahwa pemerintahan yang saya pimpin telah memberikan bukti, di tengah ujian dan cobaan, yang bukti dan bukan lagi janji (12.1).
· Alhamdulillah, Allah SWT meridhoi dan rakyat memberikan mandate dalam Pemilihan Presiden Tahun 2004.... (3.2).
· Demokrasi makin berkembang, hak-hak azasi manusia makin dilindungi (6.4). Citra dan kehormatan Indonesia di luar negeri makin dihormati (6.5). Dan peran kita dalam percaturan global makin luas dan konstruktif (6.7).
Penggunaan leksikal politik dalam pidato SBY menandai bahwa wacana yang dibacanya merupakan wacana bidang politik karena berkaitan dengan negara, pemilihan presiden, mandat, rakyat, bangsa, dll. Selain itu, penggunaan leksikal politik yang banyak digunakan SBY juga dapat mencitrakan SBY sebagai negarawan dan politikus yang andal dan ini penting untuk dapat menarik perhatian masyarakat dana pada akhirnya dapat mempengaruhi mereka untuk memilih SBY sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014.
C. Kata Kunci Superlatif
Leksikal lainnya yang tak kalah kerapnya hadir dalam wacana pidato politik SBY adalah kata kunci yang menandai makna superlatif. Dua kata kunci superlatif yang paling banyak digunakan adalah kata kunci lebih dan makin. Kata lebih dalam data terdapat sebanyak 12 data, dan kata makin terdapat 11 data. Kedua kata tersebut di antaranya terdapat pada data (2.2), (4.1), (8.3), (18.2), (6.1-4), (9.1). Di bawah ini adalah beberapa contoh data.
· Lima tahun yang lalu, dalam pidato deklarasi seperti malam ini, saya bertekad untuk bersama-sama seluruh rakyat Indonesia melakukan perubahan, agar Indonesia yang kita cintai bersama menjadi lebih aman dan lebih damai, Indonesia menjadi lebih adil dan lebih demokratis, serta Indonesia menjadi lebih sejahtera (4.1).
· Tidakkah kita bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, stabilitas politik dan keamanan di seluruh negeri semakin baik, hukum dan keadilan semakin tegak, dan korupsi terus kita berantas tanpa pandang bulu (6.1) .
· Ekonomi makin kuat dan terus tumbuh, disertai peningkatan pendapatan rakyat (6.2).
· Citra dan kehormatan Indonesia di luar negeri makin dihormati (6.5). Dan peran kita dalam percaturan global makin luas dan konstruktif (6.7).
Dalam teks pidatonya, SBY banyak menggunakan kata sifat lebih sebagai cara untuk menegaskan bahwa apa yang telah dilakukan selama pemerintahannya di periode sebelumnya lebih baik dibandingkan dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Dalam KBB (2005: 649) kata lebih memiliki makna 'lewat dari semestinya'.
Penggunaan leksikal makin juga banyak digunakan oleh SBY dalam Pidato pendeklarasiannya sebagai Capres. Serupa dengan lebih, kata makin juga dalam KBBI (2005: 702) memiliki makna kian bertambah. Penggunaan kata lebih dan makin bertujuan untuk menekankan atau bersifat menegaskan sesuatu, yang pada ujungnya penegasan dan penekanan ini mengimplisitkan pencitraan positif SBY sebagai pemimpin sebelumnya telah berhasil menciptakan Indonesia dalam segala aspek kehidupan menjadi makin baik dibandingkan sebelumnya. Meski perlu dikritisi bahwa seluruh pernyataan beliau tersebut tidak dilengkapi dengan data lapangan yang akurat.
2.3 Dimensi Praktik Wacana
Dimensi kedua dalam kerangka analisis wacana kritis Norman Fairclough ialah dimensi praktik wacana (discourse practice). Dalam analisis dimensi praktik wacana ini analisis dilakukan terhadap pemprosesan wacana yang meliputi aspek penghasilan (produksi), penyebaran, dan penggunaan (konsumsi) wacana. Pada bagian penghasilan terbagi lagi menjadi intertekstualitas dan interdiskursivitas.
2.3.1. Proses Penghasilan Wacana
Proses penghasilan wacana berkaitan dengan analisis mengenai bagaimana dan siapa pihak yang menghasilkan sebuah teks. Teks pidato yang menjadi wacana dalam penelitian ini dibaca oleh Susilo Bambang Yudhoyono saat pendeklarasian SBY-Boediono sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden periode 2009-2014 yang diusung oleh Partai Demokrat dan beberapa partai koalisi. Meski dibaca secara langsung oleh SBY, namun tak dapat dipastikan siapa pihak yang menulis pidato tersebut, mengingat SBY sendiri memiliki beberapa asisten pribadi. Selain itu acara pendeklarasian ini juga bukanlah acara mandiri yang diselenggarakan SBY, namun acara Partai Demokrat yang mengusung beliau sebagai Capres dan Cawapres.
Ada tiga kemungkinan yang dapat berlaku dalam penyusunan pidato yang dibacakan SBY tersebut, pertama, SBY menuliskannya sendiri seluruh pidato politik tersebut tanpa dibantu oleh siapa pun. Kedua, SBY menyusun konsep ide dasar bagi teks pidato politik tersebut dan kemudian pihak lain yang menuliskannya. Ketiga, pihak lain yang menuliskan draf teks pidato tersebut, dan SBY turut serta mengecek atau merevisinya. Meskipun demikian, penulis berkeyakinan bahwa SBY tetap memainkan peranan aktif atau terlibat secara langsung atau sekurang-kurangnya beliau adalah principal. Principal adalah seseorang yang kedudukannya tergambar melalui kata-kata atau teks yang dihasilkannya (Goffman, 1981: 144 – 145).
A. Intertekstualitas
Berdasarkan perspektif penyebaran wacana, intertekstualitas membantu dalam meneroka secara relatif rangkaian stabil pergerakan teks dan transformasi ke teks lain. Berdasarkan perspektif penggunaan juga, intertekstualitas membantu menegaskan teks lain yang menafsir pikiran dalam proses penafsirannya. (Fairclough, 1992: 84-85 ; Idris, 2006 : 79). Analisis intertekstualitas ini direalisasikan dalam lima kaedah yang boleh berlaku, yaitu representasi wacana, perandaian, nafian, metawacana, dan ironi. Dalam penyelidikan ini intertektualitas yang akan dianalisis dibatasi pada perandaian, metawacana, dan ironi. Pembahasan akan dilakukan secara langsung tanpa dibagi ke dalam subbab.
Metawacana ialah cara pewacana membedakan teks berlainan di dalam teksnya sendiri, dan pewacana member jarak antara dirinya dengan teks yang merupakan milik teks lain. Salah satu metawacana terekplisitkan dalam paragraf (12.3) Saya akan terus menggunakan hati dan pikiran saya untuk tetap sabar, tegar dan berikhtiar, menghadapi segala persoalan, termasuk berbagai cercaan dan bahkan hinaan.
Meski tidak secara jelas mencantumkan sumber dari teks tersebut, namun kalimat tersebut merupakan kalimat yang diambil dari falsafah hidup orang Jawa “kaya tanpa harta, wibawa tanpa mantra, sakti tanpa aji-aji, menuju peperangan tanpa pasukan dan menang tanpa mengalahkan” (Sugih tanpo bondo, wibowo tanpo dupo, sekti tanpo aji-aji, ngeluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake). Ini selaras dengan nilai-nilai budaya yang dianut oleh SBY sebagai sosok yang merupakan keturunan Jawa.
Metawacana yang berasal dari slogan yang sudah melekat di masyarakat juga dimanfaatkan oleh SBY dalam metawacana yang ketiga seperti terdapat pada kalimat „…memberi bukti bukan lagi janji“(12.1) yang segera mengingatkan pembaca pada salah satu iklan rokok“kami memberi bukti bukan janji“ atau “bukan basa-basi”. Slogan yang sangat populer ini digunakan oleh salah satu perusahaan rokok dalam iklannya yang bertema menyindir situasi politik Indonesia yang banyak basa-basi tanpa bukti. Dalam hal ini, SBY seakan ingin menunjukkan bahwa pemerintahan yang akan dipimpinnya nanti tidak akan melakukan hal yang disindir dalam iklan tersebut.
Sementara itu praandaian merupakan usul yang dimanfaatkan oleh penghasil wacana sebagai sesuatu yang dianggap sudah biasa atau 'given; (Fairclough 1992a :120) Praandaian dianggap sebagai informasi lama yang digunakan pewacana sebagai sesuatu yang telah diketahui bersama sebelumnya. Praandaian ini umumnya ditandaidengai penggunaan kata kerja bahwa, namun ada juga yang tidak ditandai dengan kata kerja tersebut.
Dalam wacana pidato SBY, praandaian hanya dimanfaatkan beberapa kali saja. Praandaian pertama terdapat pada paragraf (12.1) Rakyat juga tahu bahwa pemerintahan yang saya pimpin telah memberikan bukti, di tengah ujian dan cobaan, yang bukti dan bukan lagi janji (12.1). dan kalimat (11.3) Rakyat di seluruh tanah air tentunya juga mengetahui bahwa pemerintahan yang saya pimpin telah dan terus bekerja, menghasilkan sesuatu yang nyata dan bukan hanya wacana. Praandaian ini digunakan SBY untuk menggiring opini dan pendapat khalayak umum seakan memiliki pengetahuan yang sama dengan SBY.
Strategi intertekstualitas ironi terdapat pada data Saya pun, jika insya Allah terpilih kembali, akan terus bekerja dan bekerja (12.2). Saya akan terus menggunakan hati dan pikiran saya untuk tetap sabar, tegar dan berikhtiar, menghadapi segala persoalan, termasuk berbagai cercaan dan bahkan hinaan (12.3). Pernyataan ini lebih merupakan ironi/sindiran kepada pihak-pihak lain yang selama ini selalu melemparkan cercaan dan hinaan terhadap SBY. Sindiran ini dilancarkan dengan tidak kentara dan tuturan yang sangat halus. Ini merupakan upaya SBY untuk menarik simpati masyarakat Indonesia karena pada umumnya masyarakat Indonesia lebih “menghargai” tutur kata yang halus serta lebih “mengasihani” korban dibandingkan tuturan yang lugas dan tegas.
B. Interdiskursiviti
Interdiskursiviti adalah analisis mengenai penghasilan teks dan semacam lanjutan dari intertekstualitas. Objektifnya ialah mengenal pasti jenis-jenis wacana yang dimanfaatkan dalam penghasilan teks yang dikaji itu. (Fairclough, 1992: 232: Idris, 2006: 80). Sesuai dengan judul yang diletakkan dalam transkripsi wacana ini, maka dapat dinyatakan bahwa wacana yang menjadi data penelitian ini merupakan wacana dengan genre utama adalah pidato politik.
Pidato secara leksikal memiliki makna pengungkapan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak atau wacana yang disiapkan untuk diucapkan di depan khalayak (KBBI, 2005: 871), sementara itu politik memiliki makna pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (spt sistem pemerintahan, dasar pemerintahan); Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dsb). Mengenai pemerintahan negara atau Negara lain (KBBI, 2005 : 887). Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa pidato politik adalah wacana yang berisi ungkapan pikiran dalam bentuk kata-kata yang disiapkan dan diucapkan di depan khalayak banyak yang isinya berkaitan dengan ketatanegaraan atau kenegaraan.
2.3.2 Proses Penyebaran
Wacana pidato politik ini dibacakan secara langsung oleh SBY di hadapan para pendukungnya, khusunya simpatisan Partai Demokrat dalam rangka pendeklarasian SBY-Boediono sebagai Calon Capres-Cawapres Indonesia 2009- 2014. Acara pendeklarasian ini bertempat di Sasana Budaya Ganesha Bandung dan disiarkan langsung oleh seluruh media massa elektronik yang ada di Indonesia dan dikutip dalam pemberitaan berbagai media massa cetak dan elektronik keesokan harinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa penyebaran teks pidato politik yang dibacakan SBY tersebut telah menjangkau hampir seluruh wilayah Republik Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, bahkan ke seluruh dunia melalui jaringan internet.
Pidato politik SBY ini tidak hanya disebarkan dalam bentuk video, namun juga disebarkan dalam bentuk berita tertulis dan teks pidato pun dapat dibaca dan diunduh secara langsung melalui laman tertentu.
2.3.3 Penggunaan Wacana
Mengingat acara pendeklarasian SBY sebagai Capres 2004-2014 disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi di Indonesia, dikutip langsung oleh berbagi media cetak, dan juga disiarkan melalui internet (international network), dapat diperkirakan bahwa pengguna wacana teks pidato politik SBY ini adalah sebagian besar rakyat Indonesia, baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri. Tak dapat diidentifikasi secara khusus siapa pihak-pihak yang menggunakan atau menerima wacana pidato ini. Namun dapat diperkirakan bahwa wacana ini digunakan oleh seluruh rakyat Indonesia baik perempuan maupun lakilaki, dari segala usia, segala suku bangsa, dan segala latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dll. Termasuk lawanlawan politik SBY dalam pemilu 2009 yang mungkin memanfaatkan wacana ini untuk mencari titik kelemahan SBY.
2.3 Dimensi Praktik Sosiobudaya (Makro)
Dimensi praktik sosial ini menguraikan proses dan praktis sosial berdasarkan hubungan dimensi tektual dan dimensi praktik wacana. Berdasarkan hubungan analisis dimensi teks dan dimensi wacana seperti yang telah dilakukan sebelumnya, dapat ditarik hubungan bahawa SBY telah melancarkan proses sosial pengekalan kuasa dalam pidato politiknya tersebut.
Proses sosial pengekalan kuasa yang dilakukan SBY ini dialirkan dalam beberapa bentuk praktik sosial, yaitu (a) Pembentukan citra positif sosok SBY, (b) Pembentukan opini keberhasilan kepemimpinan SBY sebelumnya, dan (c) Pembentukan opini pentingnya melanjutkan kepemimpinan SBY. Secara umum, seluruh proses dan praktis social ini dinyatakan dan dikembangkan dalam suatu struktur teks yang terdiri dari pembuka, isi, dan penutup. Sementara itu, secara khusus, proses dan praktis sosial ini dapat terlihat dari uraian analisis tektual secara terperinci.
Citra positif yang dibangun oleh SBY dihadapan calon pemilihnya di antaranya adalah citra pemimpin yang agamis, rendah hati, bertanggung jawab, dan negarawan yang andal. Ini semua terealisasi dalam wujud ketransitifan, modalitas, kata hubung, kata kunci, dan intertekstualitas. Meskipun demikian, beberapa wujud teks yang menandai pembentukan citra pemimpin yang rendah hati, justru dapat juga diinterpretasikan sebagai wujud pembentukan citra pemimpin yang lemah dan tidak tegas. Pembentukan opini keberhasilan kepemimpinan SBY periode sebelumnya direalisasikan dan bentuk teks kata kunci, kata bantu aspek, dan intertekstualitas, sedangkan Pembentukan opini pentingnya melanjutkan kepemimpinan ditandai dalam wujud teks kata kunci, modalitas, dan intertektualitas.
Selain berkaitan dengan struktur teks, proses dan praktis sosial yang dilancarkan SBY ini berkaitan erat dengan situasi sosial yang terjadi pada saat dibacakannya pidato politik pendeklarasian SBY sebagai Capres 2009. Pada saat itu Republik Indonesia baru saja memasuki putaran II dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2009. Pada pemilu putaran pertama, Partai Demokrat yang mengusung SBY sebagai Capres keluar sebagai pemenang pemilu putaran satu dan mengalahkan partai besar lainnya seperti Golkar, PDI, PAN, dll.
Pemilu tahun 2009 ini adalah pemilu kedua yang diikuti SBY setelah periode sebelumnya SBY berhasil memperoleh kursi sebagai Presiden RI tahun 2004-2009. Sesuai dengan aturan bahwa kepemimpinan Presiden di Indonesia dapat diduduki selama dua periode, maka dalam konteks ini SBY mencalonkan kembali sebagai Capres dalam upaya pengekalan kuasanya. Bahkan tagline kampanye SBY dalam periode ini menggunakan kata Lanjutkan! yang sangat bermuatan politis pengekalan kuasa.
Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden RI Periode sebelumnya atau Presiden RI ke-6 (2004-2009). Lahir di Pacitan 9 September 1949 sebagai anak tunggal pasangan Raden Soekotjo dan Sitti Habibah. Beliau dibesarkan dalam latar belakang keluarga militer yang agamis karena ayahnya adalah Komandan Rayon Militer di Kabupaten Pacitan dan kakeknya adalah seorang pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) di Tremas (Hariwijaya, 2009).
Mengikuti jejak ayahnya, SBY pun memilih militer sebagai pilihan pendidikan dan kariernya. Dalam masa pendidikannya, SBY pernah menjadi lulusan terbaik AKABRI tahun 1973 dan menerima penghargaan lencana Adhi Makasaya dari Presiden Soeharto. Karier militernya cemerlang, mulai dari menjabat sebagai Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi Senapan A, Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Kostrad), hingga menjabat Pangdam II Sriwijaya dan Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI. (Hariwijaya, 2009).
Karier militernya terhenti ketika Gusdur mengangkatnya menjadi Menteri Pertambangan dan Energi tahun 1999 dan berlanjut hingga pemerintahan Megawati Soekarno Putri sebagai Menkopolkam. Hingga akhirnya pada 2004 SBY menentukan jalan politiknya sendiri dengan mendirikan Partai Demokrat dan mencalonkan diri, hingga terpilih menjadi Presiden RI 2004-2009. Ini menandai bahwa beliau memiliki pengalamannya yang matang dalam bidang politik dan militer.
Latar belakang pribadi, pendidikan, dan karier militer serta karier politik SBY telah turut mempengaruhi pencitraan postif (agamis, negarawan, bertanggung jawab, dan rendah hati) yang dibentuknya dan direalisasikan dalam teks. Ini menunjukkan bahwa seluruh proses dan praktis sosial yang dilancarkan oleh SBY melalui pidatonya memiliki hubungan yang erat dengan struktur sosial SBY secara personal. Ini menandai bahwa apa yang terealisasi dalam teks memiliki hubungan dialektikal dengan struktur sosialnya.
Selain latar belakang pribadi; latar belakang sosial, politik, dan ekonomi Republik Indonesia yang terjadi sebelum tahun 2009 juga turut praktis social yang dihasilkan. Pada tahun 2004- 2009 (masa kepemimpinan SBY periode I) Indonesia baru saja bangkit dari keterpurukan krisis ekonomi global yang terjadi tahun 1998. Mekipun demikian, kebangkitan ini tetap bayangbayangi berbagai masalah seperti kritis yang berkelanjutan, bencana alam gempa dan tsunami; ancaman bom teroris, budaya korupsi yang masih merajalela, jumlah masyarakat miskin yang masih tinggi, masalah penegakkan demokrasi hingga masalah Hak Azazi Manusia yang masih belum mendapat perlindungan maksimal.
Situasi yang tengah carut marut ini dimanfaatkan SBY untuk menarik perhatian calon pemilih dengan melancarkan opini bahwa kebangkitan ekonomi tahun 2004-2009 merupakan prestasi yang berhasil dicapai oleh SBY sehingga kepemimpinannya penting untuk diteruskan dan dilanjutkan karena masih diselesaikan dalam kepemimpinan selanjutnya. Ini menunjukkan bahwa praktis sosial yang dilancarkan SBY dan direalisasikan melalui teks juga tak dapat dilepaskan dari struktur yang ada di sekitarnya.
Penyaluran proses sosial “pengekalan kuasa” melalui ketiga jenis praktis sosial dan terealisasi dalam teks pidato SBY ini pada akhirnya dinilai berhasil dalam mempengaruhi peserta pemilu presiden tahun 2009. Ini dapat diukur berdasarkan keberhasilan SBY memenangkan Pemilu Presiden 2009 hanya dalam satu putaran saja karena perolehan suara yang melebihi 60%. Meski banyak faktor yang turut menyumbang keberhasilan SBY dalam Pemilu 2009, namun hasil analisis terhadap wacana pendeklarasian ini membuktikan bahwa pada pidato pertamanya ini SBY telah berhasil membangun pondasi yang kokoh dalam menarik simpati dan mempengaruhi masyarakat Indonesia untuk memilihnya dalam rangka pengekalan kuasa sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014.